Oleh : Nenden Hernika
Mengisi hari selama Work From Home, saya dan teman guru pembimbing membuat grup literasi sekolah untuk anak didikku. Sebelumnya sudah sering terbersit di pikiran, namun karena kesibukan dan khawatir menambah beban anak-anak dan orang tua untuk membeli kuota, membuat grup literasi anak tak pernah jadi. Apalagi jika ingat tidak semua orang tua siswa memiliki HP android, keinginan untuk membuat grup selalu dienyahkan.
Mengingat hari belajar di rumah bertambah lama dan terbayang betapa anak-anak akan bosan dan khawatir jika harinya diisi dengan hal yang kurang manfaat, maka dengan ucapan bismillah, Sabtu 4 April 2020 dibuatlah grup tersebut dengan tujuan mengasah keterampilan anak dalam bidang menulis.
Cukup dengan mengirim tautan grup dan meminta teman-teman guru lain untuk mengumumkan pada anak-anak, tak disangka ternyata peminatnya cukup banyak. Padahal, hanya anak-anak kelas empat sampai dengan kelas enam yang minat saja yang boleh gabung grup.
Namun dalam jangka waktu setengah jam, langsung ada 52 anak yang gabung padahal dalam pengumuman tidak diwajibkan. Melihat itu, saya jadi terharu dan makin yakin bahwa anak-anak sebenarnya haus akan bimbingan.
Langkah pertama setelah ada lebih dari 50 anak yang gabung adalah memberi tahu apa tujuan dibentuk grup dan membuat aturan grup. Setelah itu, saya minta anak-anak untuk memperkenalkan siapa nama dan kelas masing-masing.
Alhamdulillah anak-anak memperkenalkan diri, sambil tak lupa menanyakan kabar. Ada yang bilang kangen, dan sebagainya. Saya bahagia karena mereka merindukan saya. Pun dengan saya yang merindukan mereka, setelah tiga minggu tak bersua. Namun yang menjadi perhatian saya adalah nama dari profil WA mereka. Duuh, mengapa namanya anéh-anéh? Meskipun tak semua, dan mungkin saja itu bukan HP anak-anak, tapi kebanyakan nama di WA itu, bukan nama asli. Beragam nama yang dipakai ada Fixing_Zazha, Semoga Dapat Hidayah, Bolotaja, Mang Kudil, Bunga Lestari, Ninja Predator, malah ada yang menamai dirinya Modol Sakendi ☺☺.
Sepintas mungkin kita tidak akan mempedulikan tentang nama. Apalagi hanya nama dalam medsos, serta jika dilihat usia mereka yang masih remaja, memakai nama samaran adalah hal yang tidak aneh mengingat mereka masih mencari jati diri. Namun sebenarnya itu sangat fatal dalam penanaman karakter. Anak yang menulis nama tidak sesuai, cenderung ingin menyembunyikan dirinya di depan khalayak, dan ini sangat berbahaya buat karakter ke depannya, karena dikhawatirkan dia bisa bebas berbuat sekehedak hati, tanpa mau mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Survei yang dilakukan Disqus pada sekitar 1.000 orang yang menggunakan layanan mereka dan tambahan 1.000 pengguna internet umum telah mengungkap bagaimana para netizen ini mengidentifikasi diri mereka secara online.
Dari hasil survei tersebut, terungkap jika mayoritas pengguna internet masih mengandalkan nama samaran ketika posting komentar online, tapi kenapa begitu? Nah menurut Steve Roy, Vice President Disqus di sektor pemasaran dan komunikasi, menggunakan nama samaran membuat netizen merasa aman dan nyaman ketika ingin berbagi pendapat tentang topik yang bersifat kontroversial seperti agama dan politik (sumber : https://m.merdeka.com/teknologi/mengapa-orang-pakai-nama-palsu-saat-berkomentar-di-media-sosial.html)
Mengingat hal tersebut, saya kemudian meminta anak-anak untuk mengubah nama profilnya dengan nama asli. Selain untuk memudahkan pemanggilan, lebih mudah mengingat mereka, lebih tahu aktifitas mereka, juga agar untuk menanamkan kejujuran dan rasa tanggung jawab tidak hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Insya Allah menanamkan karakter sejak dini, akan lebih mudah ketimbang pada mereka yang sudah dewasa. Semoga kelak niat baik ini akan ada manfaatnya sebagai salah satu hikmah dari wabah corona. Aamiin.
Bojongmangu, 04-04-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar