--Selamat Datang di Portal SDN BOJONGMANGU 02. Terima Kasih Kunjungannya--

Selasa, 01 Desember 2020

GURUKU, GURU SEPANJANG WAKTU

Pak Wajiyono
 Oleh : Nenden Hernika

Namanya Pak Wajiyono. Beliau datang dari Jogjakarta, mendapat tugas untuk mengajar di sekolah kami. Waktu itu saya masih kelas 3 SD (tahun 1980) dan kebetulan langsung menjadi wali kelas saya. Sekolah kampung, sekolah yang selalu ditinggalkan oleh guru-guru baru yang ditugaskan di sana. Dulu, guru honor nyaris tidak ada. Selain karena nyaris tidak ada lulusan SPG di kampung kami, untuk memberi gaji pada honor pun pastinya sulit. Biaya sekolah yang hanya mengandalkan SPP, tentunya tidak cukup untuk membayar honor, dan yang paling utama, tak ada yang mau jadi guru honor.

Kedatangan pak Wajiyono membuat kami tersentak sekaligus bahagia. Kami yang sebelumnya hanya memiliki 3 orang guru (termasuk kepala sekolah dan penjaga yang juga harus mengajar dan megang kelas), benar-benar seperti mimpi. Semua mata tertuju pada beliau. Apalagi beliau masih muda, bujangan, cerdas, dan memberikan pembelajaran yang begitu detail dan mudah dipahami. Padahal di balik itu semua, saya tahu betapa beratnya beliau bertugas di kampung kami. Beliau yang jauh dari keluarga, harus menahan rindu sekaligus prihatin, gaji yang beliau terima masih sangat kecil, hingga beliau hanya mampu pulang ke Jogja satu tahun sekali.

Kelas lain terlihat iri karena gurunya bukan beliau. Sebagian ada juga yang merasa takut jika bertemu beliau karena belakangan ternyata beliau terkesan “galak”. Ya, beliau telah ”mengusik zona nyaman” kami. Zona yang biasanya kelas lebih sering bebas ketimbang belajar, kami lebih sering bermain ketimbang di dalam kelas, bahkan waktu istirahat pun semua siswa tanpa kecuali pasti pulang ke rumah untuk makan. Sejak ada beliau, pembelajaran kami selalu full. Beliau yang tinggal di rumah Kepala Sekolah yang kebetulan rumahnya tepat di samping sekolah, bisa bebas mengelola sekolah dan membimbing siswa kapan pun beliau mau.

Waktu istirahat, ketika guru lain ngobrol di kantor, beliau memberikan layanan pinjaman buku perpustakaan (yang saya tahu buku bacaan fiksi di sekolah jaman dulu lebih banyak dari sekarang). Sore hari beliau membimbing ektrakurikuler dan malam harinya, usai mengaji, akan ada anak-anak yang datang untuk belajar tambahan. Beliaulah guru yang pertama kali memberikan pelajaran mengarang. Masih ingat waktu itu, kami semua benar-benar buntu dalam mengarang. Beliau menuntun kami agar mau menceritakan kegiatan dari pagi hingga malam. Sungguh, saya masih ingat karangan pertama saya diberi nilai 6, karena setiap kalimat selalu disambung dengan kata “setelah itu”. Beliau juga sangat telaten membimbing menulis tegak bersambung, nyanyi lagu-lagu nasional dan daerah, termasuk menggambar seminggu sekali.

Saya kelas 4, beliau menjadi wali kelas 4, kelas 5 menjadi wali kelas 5, sempat membuat kami bosan. Makanya ketika naik ke kelas 6 dan gurunya ganti oleh guru yang lebih sepuh, kami bersorak gembira, karena kami bisa “bebas” dari sikap disiplinnya. Belakangan kami sadar, bahwa sikap disiplinnya itu justru membuat kami telah menyesal pernah kesal pada beliau. Kesan “galak’nya justru sangat bermanfaat bagi masa depan kami, dan kami harus mengucapkan banyak terimakasih pada beliau.

Sedih rasanya, ketika saya kelas dua SMP, Pak Guru mutasi ke sekolah lain, dan empat tahun kemudian, saya mendengar kabar beliau mutasi kembali ke kampung halamannya di Jogja. Sejak saat itu kami tak pernah bertemu, bahkan komunikasi pun tak pernah. Hingga dua tahun silam, saya menerima nomor HPnya dari kakak dan Alhamdulillah, kami bisa bersilaturrahmi meski hanya lewat WA. Ternyata beliau sudah pensiun dan sukses menghantarkan dua anaknya jadi perawat, dan yang bontot jadi polisi. Saya sempat menangis ketika menelepon beliau dan beliau menanyakan kabar ayah padahal ayahanda sudah almarhum sejak dua puluh tahun silam. Beliau sangat terkejut dan menyampaikan rasa duka cita. Ach, ternyata beliau sama sekali tak melupakan keluarga kami. Tahu apa yang beliau lakukan dalam dua tahun kami komunikasi? Setiap malam, setiap pukul tiga dini hari, tak pernah terlewat, beliau selalu mengirim ucapan salam di WA, seolah mengingatkan saya agar bangun dan sholat tahajud. Berdosa sekali, tak semua salam sempat saya jawab, karena mungkin saya masih lelap. “Ach, Bapak! Bapak benar-benar guru sejati, guru yang tetap mengingatkanku meski jarak begitu jauh memisahkan.”

Subuh tadi, beliau adalah guru pertama yang saya ucapkan selamat di hari guru ini. Saya juga minta foto beliau, mohon ijin untuk menuliskan kesan saya tentang beliau. “Terimakasih Bapak, tak banyak yang saya sampaikan selain doa, semoga Bapak tetap sehat dan penuh keberkahan. Aamiin.”

Bojongmangu, 25 Nopember 2020

#HGN2020

Sumber Artikel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar